Tampilkan postingan dengan label short story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label short story. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Januari 2013

Teras Kota

Bangun tinggi bergaya romawi kuno, dilantai tingkat duanya biasa ku terduduk disana, melukiskan teras kota. Tepat ditengah terdapat pohon tua, ukurannya besar, melampaui rumah-rumah bertingkat dua. Dulu warna daunnya hijau, ketika pohon itu masih kecil. Sekarang warna daunnya kuning kecoklatan, menutupi ranting-ranting tua, bergerak tertiup angin - memantulkan warna keemasan. Dibawahnya paving-paving tua berukuran besar tersusun luas, beberapa puing bertebaran tak merata, air setinggi mata kaki menutupi teras kota. Airnya jernih, ikan koi berwarna merah dan putih meliuk-liukkan badannya. Disebelah kanan terdapat dua bukit tinggi, warnanya hijau, tertutup permadani, di puncak yang kekuningan terlihat bunga-bunga liar bermekaran. Tepat diatasnya matahari sunset kemerahan mulai bergerak turun, meninggalkan semburat warna senja di langit. Berubah - kuning - jingga - merah - biru sampai menyentuh puncak tebing di sebelah kiri, membagi dua pandang samudra. Teras kota yang tak terlihat ujungnya, menyambung ke samudra.




*sedikit menggambarkan mimpi gw malam ini
*merasa untuk kesekian kalinya ada ditempat yang sama

Selasa, 21 Agustus 2012

mencoba (2)


jaraknya baru sekitar lima belas meter dari start, sekarang ini berada dipinggir melihat pertandingan selesai tanpa dirinya. malu, malu, malu, harapannya putus begitu saja. cepat ia berlari ke toilet mengganti baju, berharap orang di luar tak menyadari itu dirinya. malu menyadari seorang anak sma tak mampu menyelesaikan lima puluh meternya, bahkan anak tk yang ikut lomba di nomor lain mampu menyelesaikan lima puluh meternya.

tangis ia tahan, maaf yang terucap, rasanya seperti mempermalukan sekolah sendiri, merusak kepercayaan orang-orang. peluk dari teman-temannya serta ucapan semoga ia tak trauma akan hal itu dan tetap berjuang, mencoba menenangkan dan menyenangkan hati yang kosong.

***

Latihan tetap ia jalani, mengobati rasa traumatis yg membekas.

Setahun kemudian kesempatan datang kembali, entah hanya sekedar untuk memperjuangkan- mebayar rasa malu yang terukir atau membuat pencapaian terbaru.

Kali ini sapaan lautan berlian kembali hadir. Ia meyakinkan segala keyakinannya, mengubur memori lama yang menyesakkan. Wush- kali ini renangnya begitu cepat melawan arus ombak yang timbul dari lawan ataupun dinding kolam renang yang hendak menyapa balik. Ketika sampai ke bagian yang lebih dalam, rasa sesak akan kejadian buruk tahun lalu kembali terngiang, dasar kolam yang semakin kabur, memberi tekanan secara mental.

‘satu tekat ku bulat kan’ ia penjamkan matanya sejenak dengan tetap terus mengulang gaya dada untuk dua puluh lima meter berikutnya. Kepaknya melemah, nafasnya tersengal, namun tak cukup perjuangan harus terhenti kembali untuk kedua kalinya.

Gerakkannya melambat tersusul perenanang lain. Tepakan tangan ditepi kolam, menanadakan ia menyelesaikan lima puluh meter gaya dada-nya.

Nafasnya memburu, mungkin ia bukan perenang terbaik. Posisi keempat menjadi miliknya, memang tak ada pengakuan sebagai pemenang. Namun ia memang melawan dirinya sediri, mencapai pencapaian terbaru dalam hidupnya.





***selesai***

Sabtu, 14 Juli 2012

mencoba (1)



pejuang yang pemalu.



bertahun-tahun, ia akui suka sekali dengan olahraga air yang satu ini, kalian pasti tau, ya betul renang. olahraga yang sudah lazim ini, bahkan anak tk zaman sekarang pun sudah diajari. 

awalnya otodidak, hanya sekedar diajar kaka, gaya katak, gaya renang terfavoritnya. sungguh kenyataan menyenangkan ia masuk di sd, smp, bahkan sma yang peduli akan olahraga air ini. berharap suatu saat ia mungkin bisa jadi atelit renang indonesia. sungguh impian yang kosong, mengingat orang tuanya lebih suka ia berprestasi di bidang akademik.

takala puji dari guru olahraga datang, berkata seolah ia pernah mengikut semacam club renang, namun hanya senyum yang ia balas. 'ah aku hanya cinta olahraga ini' ujar dalam hati, walau senang atas pujian itu, tak sia-sia ia cinta olahraga ini.

biasanya ia hanya hanya ikut senang, melihat adik kelas, teman-temannya, atau kaka kelas jika ikut pertandingan. ingin ikut serta rasanya, namun apa daya ia hanya seorang anak biasa - bukan atelit - tak ada dasarnya - ibarat kata hanya anak kampung yang belajar renang di danau.

kesempatan yang dinanti pun datang. tak terpikir olehnya kalau guru olahraga sma mengajak ia mengikuti lomba renang, ia tak pernah merasa cukup akan kemampuannya, takut hanya malu atau kekecewaan yang datang.

minggu-minggu terlewati dengan jadwal latihan renang bersama empat orang temannya. sungguh lelah, baru kali itu olahraga air kesukaannya membuatnya begitu berkeringat. mondar mandir sisi kolam renang, dua puluh lima meter, dengan porsi latihan yang dibuat gurunya, ternyata membuatnya manja. apalagi ketika jarak yang ditempuh lima puluh meter, sungguh rasanya, ada takut yang besar yang menghantuinya dibelakang - ketika memasuki kolam yang lebih dalam. namun perjuangan tak boleh berhenti sampai disini, bukankah ini yang ia inginkan.

***

kolam renang olympic size menanti, airnya begitu jernih bahkan dasar kolam berwarna putih pun terlihat berkilau bak berlian. kolam renang yang tadinya biasa saja terlihat begitu menantang, seolah ada perlombaan kelas dunia yang dilaksanakan, walau memang tak sehabat kolam renang di gelora bung karno, ini hanya lomba tingkat kota.

rasanya campur aduk senang karena ini pertama kali, tertantang akan hawa peserta yang ini mencapai finish, gugup akan ramainya pendukung, dan rasa tak sabar berharap akan menjadi juara. semua peserta siap ditempat, dengan tangan yang seolah mencoba menggapai kaki. tiup peluit disambut sigap, riuh sorak pendukung tak terdengar, kini ia berada dalam air, mengikuti sebuah lomba renang, seperti mimpi. namun apa yang salah, ia sulit melihat kacamata renangnya lepas. 'hei ini baru diawal, apa yg harus aku lakukan, aku sulit melihat'. seolah hanya air yang menjawab semua, 'ayolah kau memang tak bisa melihatkan tanpa kacamata renang'.

rasanya pesimis ia coba bunuh, namun sulit. kini ia buta arah, ia mulai gelagapan, geraknya tak karuan. ia pun terhenti, memegang tali pembatas oranye yang berjajar lurus, menarik napas dalam seperti tak terkontrol. suara di sekitarnya campur aduk, ada yang berkata ia harus cepat menyusul, ada yang bilang kalau tidak kuat ke pinggir saja. finish di ujung kolam pun terasa menjauh, sepersekian detik ia terhenti, jarak antara ia dan peserta lain melebar. semua nampak seperti ilusi, menjauh, bergerak melambat, putus asa.








(to be continued)